Di dekat jendela yang sudah rapuh itu, kerap kali mataku menemukan bapak sedang membaca koran yang berisi tentang negara, derita, dan entah apa. Sesekali aku sempat melihatnya tersenyum, ketika derai-derai hujan membasahi kolam ikan yang sejak dulu ia cintai dan ia hidupi.
Terkadang juga, aku mengintip bapak sedang menanam bunga-bunga yang harum di pekarangan samping rumah. Katanya, ia harus terbiasa wangi bunga yang kelak ditaburkan padanya. Aku takut, benar-benar takut pada kejujuran.
Aku terpikirkan sesuatu ketika melihat kerut di kening bapak mulai bertambah. Aku mencoba-coba menebak usia bapak, di antara angka empat puluh, lima puluh, dan seterusnya. Dan aku menyerah, aku tak bisa menebak di usia bapak keberapa aku pernah ada untuknya. Tak pernah terjawab, sebab aku memang tak pernah ada untuknya.
Februari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar