Saya tidak ingat, kapan waktu yang tepat terjadinya peristiwa
heroik dahulu itu. Yang saya ingat, jelas saat itu malam Tarawih di bulan
puasa. Tidak ada hujan. Tidak ada angin. Tidak ada tanda-tanda akan datangnya
kiamat. Tebak apa yang terjadi?
Saya
tiba-tiba ngisi ceramah
di mushola!
Padahal,
orang-orang yang mengisi ceramah di mushola itu, sudah diatur jadwalnya. Tapi,
dengan keberanian dan ketololan, saya pokoknya mau maju dan ngisi ceramah.
Titik.
Para
jamaah bengong. Jelas saya tahu itu. Karena memang ini baru pertama kali ada
seorang anak kecil—mungkin bisa dikatakan remaja—memberikan ceramah di mushola
tersebut; yang letaknya tepat di depan rumah saya.
Sebagai
lulusan terbaik di Madrasah Ibtidaiyah, saya tahu apa yang harus dilakukan sebelum
memulai ceramah, yaitu mengucap salam. Sorot lampu mushola menyinari mata saya
yang berbinar. Suara jamaah riuh sekali. Saya jadi demam panggung, Ya Allah.
Suara
saya jadi terbata-bata. Berkali-kali melihat kertas contekan yang saya siapkan.
Dan di penghujung acara, hal yang tak terduga justru terjadi: para jamaah
tertawa girang dan memberikan tepuk tangan.
Saya
sudah bisa batin dalam hati, pasti para jamaah akan berkata demikian: “kok bisa
ya, seorang sesepuh ternama di desa punya cucu yang gatheli.”
Saya
sudah tahu, kalau mereka akan tertawa. Karena saya sedari tadi tidak ceramah
tentang agama. Tapi, malah keadaan sosial masyarakat sekitar yang patut
ditertawakan. Lakyo,
goblokkan? Di tempat formal keagamaan, tapi tidak ceramah soal keagamaan?
Tapi
tetap tidak peduli. Lha wong saya
juga tidak ngerti banget soal agama. Masih kecil lagi. Tapi, selama jamaah
senang. Saya juga senang. Dan tiba-tiba ketika saya keluar dari mushola, ada
seorang ibu yang menyapa dan ngomong kepada saya: “Mas, sesuk ngisi meneh yo?”
Tambah
lagi satu ibu paruh baya yang datang dan nimbrung: “Iyo, Mas. Sesuk ngisi meneh
yo?”
Lalu
datang lagi Mbah Putri saya yang nggak kalah gaplekinya: “Kowe sesuk kudu ngisi
meneh. Sesuk duit jajanmu tak tambahi.” Saya ngangguk. Tanda iya.
Dan di hari-hari
berikutnya, akhirnya saya mulai ngisi ceramah lagi. Mungkin ada 3-4 kali
ceramah pada tahun itu. Hal yang justru menjadi candu buat saya.
Ketololan
yang Lain
Yang
paling menghebohkan adalah pernah kejadian ketika “setelah” saya ngisi ceramah
di kali yang ke empat (terakhir). Semua berjalan normal: tidak lagi grogi,
tetap tidak berbicara tentang agama, dan penonton tertawa. Dan selesai ceramah,
dilanjutkan salat Witir.
Langsung
ke pokok permasalahan: pulang dari mushola peristiwa nggak kalah kocak terjadi.
Waktu itu uang jajan saya cukup banyak. Pulang dari ceramah, saya langsung
membeli beberapa jenis petasan. Saya menjadi bos hari itu. Petasan mulai saya
nyalakan satu persatu, mulai dari: petasan korek, roket, gangsing, hingga tikus.
Ini
ada petasan tikus. Sumpah, ini adalah petasan yang paling gapleki di
seluruh muka bumi. Saya sumpahkan pencipta petasan tikus ini akan masuk nereka
paling panas sendiri dan saya sumpahkan di akhirat nonton Youtube iklannya
tidak bisa di-skip selama 300 tahun!
Jadi
seperti ini. Petasan tikus itu sudah saya arahkan sesuai garis lurus jalan. Itu
pun sudah saya ukur menggunakan rumus pitagoras, algoritma, dan sejenisnya.
Tapi, kok bisa-bisanya petasan itu masuk pekarangan rumah saya. Dan satu hal
yang tidak masuk akal: lari menuju kasur Mbah Putri saya yang sedang di
letakkan di depan rumah dan terjadilah kebakaran ringan!
Brengsek!
Saya ngakak nggak ketulungan. Dan saking tololnya, saya lupa mematikan api yang
terus membakar kasur Mbah Putri saya. Akhirnya saya lari dan memadamkan api.
Nanti, kalau ditanya Mbah, saya pokoknnya pura-pura nggak tahu.
Tapi
ya begitulah hidup. Sepandai-pandainya kamu menyimpan bangkai, tidak
akan menjadi kasur yang baru juga!
Dan
di akhir-akhir bulan puasa, Mbah Putri saya nonton sinetron “Cinta Fitri” tanpa
menggunakan kasur. Padahal sudah saya sarankan untuk beli kasur baru lho, kalau
perlu beli kursi santai yang mirip di pantai. Malah saya akan digebuk pakai
sapu.
Saya
ngakak. Mungkin, ketika saya nulis ini, Mbah Putri saya sekarang juga ngakak.
Di surga.
Boyolali,
beberapa tahun silam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar