Mbak Susi, Smaga, dan Rantai Solidaritas

Kira-kira masih jam delapan pagi. Kelas-kelas tertutup rapat karena memang masih ada pelajaran di dalamnya. Kecuali saya—yang sedang di luar kelas. Saya berjalan di antara lorong-lorong kelas. Sendiri. Hanya bermodal hp dan dompet.

“Mbak, es good-day dua! Nasi ayam satu!” kata saya kepada seorang ibu yang bertubuh gempal itu. Kira-kira umurnya jauh di atas 40 tahunan. Dia selalu ramah kepada pembeli. Namanya Mbak Susi. Salah satu pemilik kantin di sekolah.

“Siap, Bos!” katanya. Semangat sekali beliau. Kalau saya ingat, seumur-umur sekolah di situ, saya tidak pernah melihat beliau cemberut, marah, apalagi nangis.

“Kok udah keluar, Mas?” tanyanya sambil mengantarkan makan dan minum di meja saya.

“Lagi laper, Mbak,” kata saya sekenanya. Saya tidak cerita, kalau saya baru saja dikeluarkan gara-gara ribut terus di kelas. Apalagi itu pelajaran sejarah. Pedih memang jika disuruh pergi saat kita lagi sayang-sayangnya.

***

Ingatan sederhana itu muncul, justru ketika saya tidak sedang di sekolah; tempat yang pernah membesarkan nama saya. Jauh dari tempat itu, tepatnya di Semarang. Saya malah rindu. Mulai dari lapangan upacara, aula, parkiran, kamar mandi, kantor BP, hingga Mbak Susi.

Jika memang dari kita pernah menjadi bagian terpenting dari SMA 3 Boyolali, mustahil jika tidak mengenal Mbak Susi. Beliau bersama keluarga—seorang suami dan empat anak—lebih dari 25 tahun tinggal dan tumbuh “di dalam” lingkungan sekolah.

Ingatan itu muncul, ketika saya (mungkin kita) pernah menjadi saksi bahwa ada rumah petak mungil. Tepatnya di sebuah ruang teramat cukup di area belakang sekolah. Sangat prihatin memang jika membayangkan memiliki halaman rumah yang sekaligus menjadi lahan parkir siswa. Sangat prihatin lagi, jika membayangkan ketika teman-teman yang lain merindukan rumah dan pulang, tapi putra atau putri Mbak Susi, tidak pernah pulang karena rumah mereka masih dalam lingkup SMA—sekolah mereka abadi, pelajaran hidup yang membuat keluarga mereka tumbuh-besar, jatuh-bangun, hidup-mati, bersama sekolah sekaligus rumah itu.

Ingatan itu muncul sangat kaget, ketika membaca dan mendengar kabar, jika keluarga Mbak Susi sudah waktunya pindah dari ruang lingkup sekolah. Alasannya sederhana: suaminya Mbak Susi yang bernama Pak Pambudi, yang memiliki profesi sebagai penjaga kebersihan di sekolah itu, tidak bisa lagi menjadi bagian dari sekolah. Katakanlah, purna-tugas. Atau bisa dikatakan juga, selesai kontraknya.

Pokok permasalahannya bukanlah protes kepada sekolah. Justru ketika sekolah dan komitenya, masih memberi ruang hidup bagi keluarga Mbak Susi selama bertahun-tahun, itu adalah sebuah apresiasi yang luar biasa. Bisa dilihat bagaimana keluarga Mbak Susi berhutangbudi terhadap sekolah, begitu pun sekolah juga sangat berhutangbudi terhadap keluarga Mbak Susi. Hingga puluhan tahun diberi ruang. Kok bisa selama itu!

Yang mesti dipikirkan adalah bagaimana nasib tahun-tahun ke depan yang mesti dipikul keluarga Mbak Susi. Keluarga itu nyaris menjadi saksi primordial yang utuh bagaimana sekolah itu melewati linier waktu. Keluarga itu adalah bagian-bagian entitas manunggal yang pernah beriringan menembus masa satu ke masa lain.

Analoginya adalah ketika ada sebuah manusia yang utuh dan sempurna. Ia telah melewati suatu waktu berpuluh-puluh tahun. Ia jatuh-bangkit, runtuh-berdiri, hidup-mati, tangis-bahagia, bersama dengan kelengkapan manusianya: mulai dari mata, tangan, kaki, dan sebagainya. Kata seorang Dokter, ada kaki yang harus diamputasi karena memiliki penyakit. Katanya lagi, akan ada kaki baru yang akan dipasangkan dan lebih canggih lagi. Katanya yang terakhir, kaki itu akan sama.

Mungkin akan terlihat sama. Tapi percayalah, itu tidak sama.

Saya dan mungkin Anda, yang pernah menjadi bagian keluarga besar sekolah. Sekarang telah pecah menjadi mikrokosmos yang lain. Pecah lagi menuju penjuru negeri yang pelosok sekalipun. Sebenarnya kita tidak pernah pecah. Kita adalah bagian terkecil yang terus melebar menjadi keluarga besar. Tiap tahun datang keluarga baru. Tiap tahun akan ada yang lulus dan keluar. Menjadi besar dan tumbuh. Menjadi dewasa dan sukses. Bahkan bisa kita bayangkan sendiri bagaimana digdayanya rantai solidaritas itu jika bersatu dan menyatu sama lain, untuk membantu sebuah kebaikan yang lain.

Kita bisa saja mengaku bukan lagi bagian dari sekolah yang dulu. Tapi percayalah, segala ingatan kita masih tertinggal di tempat yang bernama sekolah itu. Dari segala kemenangan hingga kekalahan, dari kebaikan hingga kebusukan, kita nyaris hafal. Mungkin tentang guru, mungkin tentang teman, mungkin tentang Mbak Susi—keluarga kita yang lain atau bagian tubuh kita yang lain, yang sekarang ini memang harus kita rawat.

Mungkin Mbak Susi tidak tahu atau tidak akan mengingat nama kita lagi atau lupa. Tapi suka atau tidak, senang atau benci. Dia adalah keluarga kita yang lain. Mungkin juga ibu kita yang lain—yang nasinya pernah membuat kita tumbuh di sana. Kebaikan itu tidak akan pernah dilupakan bagi siapa saja, termasuk saya.

Bahkan saya sangat berharap sekali, Tuhan dengan segala kekuasaan, akan memberikan tempat yang jauh lebih layak dari sekarang. Jika kelak, Mbak Susi mendapatkan tempat yang lebih layak dari sekarang, itu bukanlah kebetulan. Dan kita tak boleh iri. Itu adalah hasil dari proses panjang, bagaimana sebuah pendidikan abadi yang pernah ditempa keluarga Mbak Susi. Mungkin mereka pernah tidak-dilayakkan, tapi sekarang, mereka layak mendapat kado dari Tuhan.

Dan saya sangat percaya itu akan terjadi. Jika dari kita masih memiliki nurani.

Bahkan kebaikan itu telah mulai berantai dari satu yang lain. Mulai dari kepala sekolah, guru, staf, para alumni, komite, dan orang-orang nyaris tak dikenal sudah mulai membantu. Kekuatan itu muncul tak terduga. Dan saya masih yakin, rantai itu akan terus mengait lagi dari satu sama lain.

Mbak Susi dengan kantinnya. Mbak Susi dengan rumah kecilnya. Sangat mungkin hilang. Sangat mungkin! Atau bahkan diganti dengan sesuatu yang lain. Yang mungkin tempat lebih bagus lagi. Yang mungkin lebih modern lagi.

Mungkin akan terlihat sama. Tapi percayalah, itu tidak sama.


Mei 2018

Tidak ada komentar: