Ia Pulang (Part II)


Matahari teriknya sudah keterlaluan. Saking gerahnya, saya terbangun dari tidur dan mustahil untuk tidur lagi. Musik saya putar dari televisi—mungkin Oasis atau Firehouse, saya lupa.

Handphone saya nyalakan. Mata saya tersentak membaca sebuah pesan masuk.

“Saya mau terbang hari ini…”

Televisi saya matikan. Pesan hanya saya baca. Jaket langsung saya ambil. Menyalakan motor. Pakai sepatu seadanya. Saya langsung saja ngebut menuju Bandara Adi Soemarmo, Boyolali.

Pikiran saya kacau. Saya lupa cuci muka. Entah apa yang ada dipikiran saya waktu itu, hanya melaju dan terus melaju. Saya tidak ingin perempuan yang mengirim saya pesan tadi, harus menunggu lama.

Pada malamnya, dia sudah berpesan kepada saya, katanya akan melanjutkan studi di Jakarta atau setidaknya Bandung. Saya pura-pura kaget saja—padahal saya sudah tahu itu jauh-jauh hari dari teman dekatnya. Tentang pesan dia akan terbang hari ini, jelas saya kaget. Saya tidak tahu. Temannya pun, tidak mengabari saya juga.

Saya terus melaju hingga akhirnya sampai bandara tidak lebih setengah jam!

Di ruang tunggu bandara yang luasnya sangat keterlaluan itu. Saya mondar-mandir mencari. Bolak-balik dari ke barat ke timur, dari timur ke barat berkali-kali. Mungkin lima kali. Saya cek kembali pesan tadi. Saya kaget setengah mati.

Ternyata dia berada di Bandara Adi Sutjipto, Jogja! Bangsaaaattttttt…

Saya langsung lari menuju parkiran. Ambil motor. Langsung menuju Jogja. Pikiran saya masih kacau dan tidak karuan. Muka terlalu kusut dan kusam. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi di Jogja nanti.

Waktu nyaris menuju malam. Matahari, dari arah barat sepertinya akan tenggelam. Mata saya lembab. Pikiran masih sangat-sangat kacau. Mata saya tengadah ke atas.

Itu bukan mau malam! Itu mendung! Kebangsatan dunia lengkap sudah.

Dan tiba-tiba hujan. Deras. Saya tidak bawa tas, apalagi mantol. Saya mengumpat sejadi-jadinya di dalam hati. Tidak ada pilihan lain waktu itu: jika berteduh, saya telat atau tidak akan bertemu perempuan itu; dan jika lanjut, saya akan berada di bandara dengan keadaan basah kuyup.

Saya memilih pada pilihan kedua.

Saya sampai di bandara. Jaket masih basah. Celana basah. Kebetulan saja semua berwarna hitam, jadi tidak begitu terlihat. Saya langsung telepon perempuan itu. Dan syukur, dia masih di bandara.

Saya menyalami kedua orangtuanya sambil senyam-senyum. Saya minta izin agar kami ngobrol berdua. Dan mereka memperbolehkan, katanya, jangan lama-lama. Saya mengangguk.

Kami berdua duduk di salah satu coffee shop. Kami bingung memulai percakapan. Dia tertawa. Lucu. Mungkin dia menertawakan keadaan saya. Saya suka dia tertawa. Cantik.

“Kamu masih sama seperti biasanya ya, bego!” Dia kembali tertawa sambil mengaduk kopinya.

Saya grogi. Hanya bisa diam dan melihat-lihat gerimis membasahi jendela-jendela kaca. Saya bingung harus menjawab dengan kalimat apa. Melihat matanya pun, saya tidak berani.

“Saya tidak bisa berlama di sini. Mungkin 15 menit cukup,” katanya. Dia mulai serius sepertinya.

“Kamu kapan kembali ke sini?” kata saya, mulai memberanikan diri.

“Saya tidak tahu. Ada dua kampus yang menerima saya. Ada satu kota baru yang akan saya tinggali bersama saudara. Kota itu Jakarta.”

Saya diam. Saya benar-benar diam membisu. Dada seperti tersentak.

“Saya mungkin akan pulang. Saya akan pulang, selama kamu masih menempatkan aku: di tubuhmu. Saya di situ. Dan selamanya akan tinggal di situ,” kata perempuan itu.

Air mata saya ingin meluap mendengar kata-kata itu. Tapi saya tahu, itu tempat umum. Dan saya tahu, saya tak harus memeluknya meski bisa. Dan saya tahu, itu adalah kalimat yang pernah saya ucapkan sama persis, ketika saya pamit untuk mendaki gunung!

Saya masih terdiam. Saya menghela napas panjang.

Dia berdiri dari tempat duduk. Menghampiri saya. Dia memeluk saya. Kata dia: “Jaga diri baik-baik, ya! Saya harus pergi!” katanya, lalu ia melepaskan pelukannya.

Saya mengantarkan ke kedua orangtuanya. Saya melambaikan tangan ketika dia mulai menjauh dari hadapan saya. Perempuan itu, membalas lambaian saya. Mungkin juga kepada orangtuanya yang juga berada di samping saya. Dari situ, saya hanya bisa melihat punggung perempuan itu menjauh, menjauh, menjauh—lalu hilang.

Rasanya, semua telah cukup. Saya pulang dengan pikiran tenang. Napas lega. Hujan mulai reda. Dari arah barat, matahari telah tenggelam. Dalam hati saya berharap dia bisa pulang ke Solo, lagi. Secepat mungkin.

Kapan? Saya tidak peduli kapan. Sebelumnya dia bilang tidak akan pulang ke Solo lagi, orangtuanya justru yang akan mengunjunginya selama di Jakarta. Dan itulah alasan kenapa saya begitu nekatnya ingin bertemu dia saat itu. Dan sekali lagi, saya akan senang sekali jika dia pulang.

***

Dan benar. Beberapa tahun setelah kejadian itu, dia sekarang agaknya lebih dekat dengan saya. Dia studi di Jogja, hanya karena lebih memilih di jurusan favoritnya. Saya tahu, karena mendapat kabar itu. Kabar dari dia langsung? Bukan, saya tahu dari temannya.

Saya tiba-tiba tersenyum. Agaknya, hidup memang sebercanda itu.


Jogja, beberapa tahun silam.

Tidak ada komentar: