Seorang Pendaki dan Sebuah Bukit

Akan ada satu waktu di mana aku
untuk tidak bisa: tidak mencintai kau.

Dan di balik bukit yang berbatu-batu
juga di antara celah lembah hijau itu.

Kutanam ribuan bahasa agar mengakar
terus-menerus menakar doa-doa
yang tercuri dari tanah ini.

Kulantunkan suara paling lembut
menembus rekah kabut, agar dingin
gagal menggigilkan tulangmu.

Sungguh, kita masih terlalu sibuk
menerka-nerka datangnya cahaya.
Tapi, tak ada ketulusan yang abadi
selain kehangatan dari matahari.

Sungguh, jalan-jalan masih saja berkelok.
Hutan, danau, sawah, rawa, dan sabana,
masih menjadi rimba gelap gulita
dan ingatan tak lagi berwarna.

Malam mengapung. Bulan menggantung
di atas kening, di atas sungai yang bening.

Dan doa, seperti keheningan yang berjalan
mengantarku ke dalam rimba tubuhmu:
tempat pulangnya aku.

Kau konsonan yang nyaring itu:
memanggil-manggil dari tebing tinggi
dan sesak wangi yang tak mati-mati.

“Pulanglah, pulanglah, peluklah,” katamu.


Maret 2018

Tidak ada komentar: