Payung Teduh dan Perempuan yang Tak Lagi Di Pelukan (Part I)

"Sebelumnya, saya tak berani menuliskan kisah ini. Saya sudah berjanji kepada diri saya sendiri agar tidak mengumbar hal-hal yang bersifat remeh temeh, agar tidak mengumbar yang sebenarnya tidak memberi efek apa-apa kepada saya. Tapi, setelah membaca tulisan Arman Dhani, saya terpancing untuk menuliskan kisah yang saya pendam selama bertahun-tahun ini. Dan saya—mau tak mau—akan mengingkari janji itu dan berani menceritakan kepada orang-orang."

***

Saat itu, langit malam di Kota Solo sangat cerah. Saya bisa dengan jelas melihat jutaan bintang di atas kepala saya. Saya juga bisa melihat dengan jelas orang yang begitu saya cintai, berdiri tepat di samping saya. Kami sama-sama berdiri dan menanti Mas Is (Vokalis Payung Teduh) bernyanyi di depan panggung.

Acara tidak begitu ramai dan kami tidak harus berdesak-desakan dengan penonton lain. Waktu itu hanya segelintir orang saja yang tahu tentang Payung Teduh. Termasuk saya dan perempuan di samping saya. Perempuan yang mungkin, tak satupun teman-teman saya mengenalinya.

Sekali lagi dan jujur, saya tak terlalu pandai mengumbar kemesraan. Saya tidak cukup berani untuk hal yang satu ini.

Sorak-sorai sudah menggema. Ia, perempuan yang saya ajak—berdua saja dengan saya—begitu bahagianya melihat para personil Payung Teduh menaiki panggung. Saya tak kalah bahagia. Bukan karena Payung Teduh-nya. Saya begitu bahagia karena bisa melihat orang yang saya cintai bisa sebahagia ini.

Dengan rambut yang terurai panjang, Mas Is mulai berbasa-basi dengan para penonton. Beberapa menit kemudian, dimulailah syair-syair yang bagusnya luar biasa puitis itu.

Para penonton bernyanyi dengan lirihnya. Ada yang dengan temannya. Ada yang dengan kekasihnya. Mereka semua ikut bernyanyi dengan fasih dan hafal di luar kepala. Termasuk perempuan yang menggenggam tangan saya dengan eratnya.

Saya merinding setengah mati.

Setelah beberapa syair dinyanyikan. Dimulailah lagu: Untuk Perempuan yang Sedang Di Pelukan. Lagi-lagi, saya kembali merinding. Bukan karena suasana penonton. Bukan karena malam yang dingin. Bukan karena suara Mas Is.

Tapi, lagu itu membuat mata saya begitu berani menatap dalam mata perempuan di samping saya. Entah kenapa, tiba-tiba saya ingin bersumpah untuk selalu membahagiakan dia. Saya tiba-tiba ingin dia, menjadi sahabat terbaik saya, yang kelak duduk di samping saya ketika pernikahan.

Mungkin, pikiran saya terlalu kerdil untuk memikirkan jauh tentang hal itu. Tapi, entah kenapa, saya cukup punya nyali untuk tidak menatap dan berganti perempuan selain dirinya. Seolah-olah: saya, perempuan, dan syair yang lebur menjadi satu di malam itu.

Acara malam itu, di tutup dengan satu lagu terakhir dengan judul Tidurlah. Lagu yang kelak menginspirasi saya menulis puisi dengan judul yang sama di buku pertama saya.

Intro yang lembut. Mas Is menyuruh para penonton untuk lebih dekat dengan mereka. Kami semua menuruti. Kami merapat.

Perempuan yang sedari tadi di samping saya, berpindah di depan saya. Saya mulai berani melingkarkan kedua tangan saya di antara kedua bahu dia. Saya memeluknya. Saya menundukkan kepala sedikit agar bisa bersanding di sebelah kanan telinganya. Ia tertawa.

***

Saya masih hafal bagaimana cara ia tertawa di malam itu. Cara ia makan. Cara ia tersenyum. Cara ia menggandeng saya saat berjalan. Cara ia mencium tangan saya, seusai mengantarkan ia ke rumahnya. Cara ia mengucapkan "Mas, hati-hati ya pulangnya."

Cara-cara sederhana itulah yang membuat saya tidak ingin meninggalkan dia. Cara-cara itulah yang membuat saya selalu kepikiran dia setiap mendengarkan syair-syair Payung Teduh.

Cara-cara yang sudah berakhir semua.

Semesta, telah menginginkan kami berdua tak berjodoh. Saya tak bisa memaki takdir. Saya tak bisa mengutuk perpisahan itu. Saya hanya bisa berdoa: ia senantiasa baik-baik saja.

Mas Is, dengan Payung Teduh, nyatanya tak berjodoh juga. Mas Is menginginkan untuk keluar dari Payung Teduh. Tak sedikit orang yang mengutuk perpisahan itu. Mereka bersedih. Mereka seperti baru saja kehilangan orang yang dicintainya selama bertahun-tahun.

Saya diam. Saya tak ingin berkomentar apa-apa.

Dari dalam hati yang paling dalam, saya ingin berterimakasih kepada Mas Is. Karena dialah yang membuat saya selalu ingat tentang: perempuan, syair, dan pelukan-pelukan di malam itu. Saya akan selalu berterimakasih kepada Mas Is, kepada Payung Teduh. Karena merekalah yang mempertemukan saya dengan perempuan itu lagi, meski hanya sebatas ingatan. Saya sangat berterimakasih.

Saya, perempuan, syair, Mas Is, Payung Teduh; kami semua dipertemukan, dikenalkan, dieratkan, didamaikan, dan kelak kita semua juga akan dipisahkan.

Oleh waktu.


Solo, beberapa tahun silam.

Tidak ada komentar: