Cerita dari Atas Bukit (Part III)


Inilah kesalahan yang paling sering terjadi: kita terlalu peduli kepada seorang yang tak sekalipun peduli terhadap kita.

Semestinya, hari ini saya memilih di rumah untuk membaca buku atau mendengarkan musik yang teduh. Semestinya, saya memilih pergi menonton film dan memesan kursi paling pojok untuk mencari ketenangan. Semestinya, saya memilih bertemu kawan lama dan membicarakan hal-hal yang tidak teramat penting. Semestinya, saya memilih tidak membalas sebuah pesan singkat dan menolak ajakan bertemu dengan perempuan itu lagi. Semestinya…

Tapi, semua telah telanjur!

Langit terbentang luar biasa lebarnya. Tapi tidak lagi lazuardi. Kami mempercepat jalan untuk sampai di atas bukit. Tangan kami bergandeng. Napas terengah-engah. Kami masih saja tertawa kecil mengingat suatu hal yang lalu, yang kita ulangi lagi saat ini.

“Buruan!” kata perempuan itu semangat sekali.

Saya berlari kencang. Sekarang dia yang saya tinggal. Kami tertawa sekali lagi. Kami seperti orang dewasa yang kekanak-kanakan. Tidak seperti lagi, tapi malah iya.

Dan sampailah di puncak bukit. Hamparan batuan, tanah yang bergelombang, dan sedikit rumpun, juga pohon yang tak terlalu banyak. Di sana, hanya ada kami berdua dan ada tiga orang yang juga sedang mendaki. Tapi, mereka agak jauh dari tempat kami berdiri.

Saya langsung tiduran dan punggung saya rebahkan. Perempuan itu berselonjor menghadap ke barat. Tepat di samping kanan saya. Semua hening. Tidak ada satu kata pun, yang terucap. Napas kami masih tersengal. Lelah sekali.

Sepuluh menit pertama yang hening. Lalu, dia memulai pembicaraan, “Bagaimana kabarmu? Saya lupa menanyakan itu di perjalanan tadi.”

Saya menghela napas. Saya masih bingung menjawab apa. Sedangkan pikiran masih saja buntu untuk menceritakan apa yang terjadi, setelah sekian lama perempuan itu pergi meninggalkan saya dan menanggalkan sebuah cerita yang hanya akan saya ingat sepenuhnya di kepala. Saya biarkan saja dia meracau sepuasnya.

“Kamu orang yang paling keras kepala yang pernah saya temui. Ada beberapa perempuan yang bisa kamu pilih. Banyak sekali. Tapi, saya tahu, kamu masih sama seperti dulu: kamu memperjuangkan seseorang yang sebenarnya tidak pernah memperjuangkanmu. Kamu sinting!”

“Saya bisa mencari perempuan seperti kamu. Tapi saya tidak mau. Itu bukan kamu.”

Kalimat itu hampir saja keluar dari mulut saya, jika saja ketakutan tidak menutup mulut saya secara rapat-rapat. Rasanya, keberanian saya menjadi sangat kerdil kali ini.

Perempuan itu mengenal saya nyaris luar-dalam. Bertahun-tahun saya mencoba bertahan dalam dirinya. Modal yang bagus jika kelak ada perkara apa pun menempa diri saya. Dia langsung tahu dan memahaminya.

Semua kembali hening. Beberapa menit saja. Saya berharap dia tidak marah dan suasana tetap mencair seperti biasanya.

“Buruan duduk, mataharinya sudah mulai turun, tuh!”

Saya bergegas membenarkan posisi duduk. Mata saya tertuju lurus melihat matahari yang sebentar lagi akan tergelincir. Mata saya tak berkedip. Justru menjadi lembab. Ada air yang terbendung di sana. Saya tak bisa berkata apa-apa. Benar-benar indah langit saat itu—seperti awan yang baru saja terbakar dan sebentar lagi menjadi abu.

“Cantik ya, seperti kamu.”

Lagi-lagi sebuah kalimat saya urungkan. Saya masih percaya bisa menahan diri. Saya masih percaya bahwa keikhlasan akan membuahkan hasil suatu hari kelak. Ada suatu hal yang telah lama saya genggam, dan saya mesti melepaskan begitu saja. Ada suatu hal yang teramat indah, dan saya harus merelakan ia begitu saja. Sama seperti matahari yang jauh di ujung barat sana: tenggelam dan perlahan.

Tiba-tiba saja, saya mulai berbicara, “Nanti, kalau kita benar-benar masih bersama. Saya berharap, kita masih bisa bersama melihat film atau mendengar musik indie, mendaki bukit, melihat matahari tenggelam atau membeli sebuah buku—mungkin Hemingway, atau Murakami, atau George Orwell, atau Dostoevsky, atau Eka Kurniawan? Dan kita akan membacanya bersama dan semua!”

Mata saya mulai lembab. Tapi, saya harus melanjutkan, “Nanti, kalau kita benar-benar menua bersama. Saya berharap, kita akan menemani tidur anak kita pada suatu malam. Kamu yang memeluknya dan saya yang akan menceritakan tentang kisah-kisah kancil dan buaya, atau kancil dan tikus, atau kancil dan Pak Tani. Dan kelak, kita akan tidur berempat: saya, kamu, pengeran atau putri kecil kita, dan juga ditemani buku-buku dari negeri dongengan. Kelak kita...”

Kalimat terhenti. Saya tiba-tiba terdiam. Saya sudah tidak tahan untuk melanjutkan. Air mata saya nyaris meluap. Saya kembali menarik napas panjang. Lalu kembali tenang.

Udara sore semakin dingin. Burung-burung terbang dan pulang ke sarangnya. Matahari sudah separuh tenggelam. Kami terdiam menyaksikan itu. Indah sekali. Saya tersenyum. Dan dia juga tersenyum.

Dan tiba-tiba, kami berciuman—sambil melihat matahari bekerja.*


Jogja, sekitar tahun 2017

*Sebuah parafrasa dari salah satu puisi milik Aan Mansyur.

Tidak ada komentar: