Jogja dan Satu Hal yang Tertinggal


Gorden ia buka. Cahaya matahari masuk dari arah barat tepat ketika waktu menunjukkan pukul lima lebih dua belas menit menjelang malam. Mata perempuan itu sayu, tapi bibirnya menunjukkan garis tipis dan tetap tersenyum seperti dulu. Ia masih tersenyum memandangi semua yang ada di balkon apartemen lantai lima: pot bunga, pagar pembatas dengan cat hitam yang sedikit rapuh, langit yang tengah terbuka, pohon-pohon yang kalah tinggi.

Lelaki itu, masih saja serius dengan bersandar pada bed head board berwarna hitam, diselingi seprai berwarna putih susu, dan masih melanjutkan membaca novel Cantik itu Luka yang tak kunjung rampung. Di sana tenang.

***

Perempuan itu menuju tempat lelaki tadi sedang membaca, ia memeluk perutnya dan menyenderkan kepala di dadanya. Masih tak ada kata-kata. Terdengar napas panjang diambil dari pria itu. Ia tersenyum dan menaruh kacamata yang tebalnya hampir tiga milimeter itu di meja samping kasur. Ia menutup bukunya dan menaruh pembatas di antara selanya—tepat di halaman 134.

Lelaki itu membenarkan posisinya. Ia tidur persis di samping perempuan yang terurai rambut panjangnya. Ia memeluknya. Erat, sangat erat. Seperti putri malu yang tak sengaja disentuh oleh jari-jari kita. Seperti sepasang awan yang satu bertemu awan yang lain di suatu langit.

“Saya merindukanmu,” kata perempuan itu. “Sudah berapa lama kita tak bertemu?” lanjutnya lagi.

“Mungkin bulanan, atau mungkin tahunan. Belum ada alat canggih yang bisa menghitung kemungkinan.”

“Tapi saya senang bisa bertemu kamu lagi,” kata perempuan itu lagi sambil mengeratkan pelukannya, kali ini perempuan itu sudah berada di atas tubuh si lelaki. Dan entah siapa yang memulai. Mereka tiba-tiba berciuman di balik selimut yang warnanya sama persis dengan warna seprai: putih susu.

***

Tak ada yang tahu apa yang mereka lakukan semalam dan sampai pagi lagi. Lampu kamar dan lampu baca sengaja tak dibuat menyala.

***

Kali ini, tak ada minimarket yang buka pukul setengah enam pagi. Kalaupun ada, jaraknya terlalu jauh untuk berjalan kaki. Lelaki itu tetap berjalan barangkali menemukan sesuatu yang bisa dibeli.

Hampir satu kilometer dari jarak pintu masuk apartemen, lelaki itu baru menemukan minimarket yang bertulisankan: buka dua puluh empat jam. “Kalau buka dua puluh empat jam, kenapa toko ini harus memiliki pintu? Setidaknya mereka tidak pernah tutup,” batin lelaki yang hanya menggunakan kaos polos, celana pendek, dan sepatu sneakers hitam putih yang ia beli setahun lalu di Bali.

“Dasar kapitalis!” umpatnya lagi, sambil berjalan masuk menuju minimarket.

Ia mengambil roti cokelat dua helai, botol mineral ukuran sedang, satu sachet cokelat. Ia tidak mengambil Kinder Joy, menurut dia, hanya Bill Gates yang membeli barang mahal dan tidak bermanfaat seperti itu.

***

Ia menjerang cokelat dengan air panas. Ada piring kecil di sampingnya dengan dua helai roti cokelat yang baru saja disobek bungkusnya.

Ia mengambil novel yang ia taruh di atas meja kemarin. Dan menggantinya dengan cokelat panas, roti cokelat, dan sebuah tulisan yang ditulis di atas kertas sobekan: Saya harus pulang ke Solo untuk pekerjaan. Sampai jumpa dan terima kasih. Selamat makan.

Ia pergi dengan senyuman lebar di bibirnya sembari mengangkat selimut agar perempuan tadi tidak terlalu kedinginan. Ia pergi meninggalkan kecupan di keningnya. Ia pergi dengan menutup pintu dengan sangat hati-hati. Ia pergi dan tak ingin mengganggu perempuan itu lagi—atau tepatnya, lelaki itu tidak ingin siapapun mengganggu tidur perempuan itu, termasuk dirinya sendiri.

“Tidurlah, pagi terlalu pagi,” batinnya sambil menutup pintu dari luar dan tak membiarkan suara engsel terdengar.


Yogyakarta, Agustus 2018

Tidak ada komentar: