Catatan dan Pertanyaan: Apa yang Sebenarnya Terjadi?


Serangkaian peristiwa kejadian pra-pasca 22 Mei di tulisan ini tidak runtut. Saya berusaha menulisnya sebaik mungkin dari dua sisi. Dan berharap pihak mana pun yang memiliki fanatisme berlebih, untuk tidak melanjutkan membaca ini. Tabik.

***

1. Saya tidak benar-benar yakin, seluruh peristiwa bisa kita salahkan kepada pendukung Prabowo Subianto. Siang hari, demo berlangsung damai. Bahkan beredar video seorang ibu-ibu berjilbab berpakaian hitam dan putih, tengah memberi bunga kepada orang-orang di sekitar. Sayangnya, video ini kalah tenar dengan video petasan, pelemparan batu, dan perkelahian lain; kalah menarik.

2. Banyak pihak bersaksi, demonstran malam hari adalah pihak yang beda pada demonstran damai di siang hari. Ada provokasi dari seberang polisi. Kericuhan dimulai. Siapa mereka? Provokator? Tentu. Apakah pendukung Prabowo? Bisa iya, bisa tidak.

3. Seberapa yakin? Mari pertaruhkan uang Anda yang ada di kantong. Musuh Jokowi bukan Prabowo seorang. Letupan ini hanya puncak dari kebencian dan bisul yang akhirnya pecah pada waktunya. Siapa mereka? Jawaban saya: kepentingan.

4. Pertanyaan penting: Apa yang memicu (semua, bukan hanya malam hari) letupan ini? Apa yang mereka tuntut?

5. Dalam waktu yang tak selisih jauh, di linimasa, buzzer memiliki narasi yang mirip: diskualifikasi Jokowi, pemilu curang, rakyat ingin Jokowi mundur. Jawaban: menggelikan.

6. Kenapa mereka selalu mengemukakan narasi yang menjijikkan? Rakyat, rakyat, rakyat. Apakah mereka tidak sadar, menyentuh angka 50% saja tidak. Kenapa sulit sekali bahwa tuntutan itu datang murni dari sebagian pendukungnya sendiri?

7. Dan apakah melempar batu, botol, petasan, kelereng daya ketapel, akan mengubah keadaan? Kenapa tidak susah payah membantu teman-teman saksi di daerah yang merasa ada kecurangan? Kenapa lebih sibuk mengeluarkan opini ngawur bahwa KPU, Bawaslu, dan media adalah corong penguasa? Lantas siapa yang akan Anda percaya? Halo, waktu terus berjalan dan tidak bisa diulang, Tuan Jenderal.

8. Jahanam betul. Pihak yang membawa-bawa sebutan people power, tidak memberikan pernyataan dingin. Alih-alih meredam ego, polisi saja disandingkan dengan PKI melawan Umat. Kurang bodoh apa lagi orang satu ini?

9. Pernyataan itu bisa dipatahkan dengan pertanyaan mudah. Apakah ketika polisi "menggebuk" demonstran yang rusuh akan ditanya dahulu: assalamualaikum, demonstran, apakah Anda umat itu?

10. Siapa pun yang merusak fasilitas publik, menjarah isi warung orang lain, membakar barang dan merugikan warga yang tidak tahu apa-apa. Memang selayaknya kepalanya dibenturkan dengan palang kereta.

11. Sekarang mari luangkan keresahan kita: Siapa yang tidak sebal saat ini? Bayangkan saja, yang berambisi berkuasa dua-lima orang. Yang rusuh hanya sebagian kecil; merasa jago mewakili rakyat padahal menyentuh angka 50% saja tidak (pernah) bisa. Siapa yang kena dampak sekarang? Jaringan komunikasi-sektor ekonomi seluruh Indonesia. Konyolnya bukan main.

12. Hanya karena Wiranto dan Rudiantara membatasi akses media sosial. Mungkin relevan atas dibarengi panasnya tensi politik. Lantas, dibatasi yang (sebelumnya) tanpa kabar dibukanya kapan? Di sini kita sepakat: dua kubu ternyata sama-sama menjengkelkan.

13. Kenapa akses perlu dibatasi?

14. Narasi pertama yang muncul: supaya kabar bohong dan provokasi untuk menambah massa tidak tersebar begitu masif. Betul. Narasi kedua: supaya tindakan represi polisi—atau justru dari pengacau itu sendiri?—lewat video tidak tersebar. Betul. Semua opini bisa ditampung, tinggal bagaimana cara membuat bumbu yang enak bagi masakan dan membuat masakan lain menjadi tidak sedap di mata.

15. Apakah kita bisa menyalahkan sepenuhnya kepada polisi? Saya sepakat jika kejadian brutal polisi mengeroyok pemuda di sekitar Masjid Kampung Bali bisa disalahkan.

16. Mari kita memandang dari nalar pihak polisi: Bagaimana jika pemuda yang mengumpulkan batu ini digunakan untuk provokasi di titik yang sudah damai? Bagaimana kalau pemuda ini mengumpulkan batu untuk dilemparkan kembali ke demonstran untuk bisa menyalahkan polisi? Bagaimana jika batu itu digunakan untuk merusak fasilitas orang—seperti kaca-kaca gedung, kaca mobil, dan lain hal? Toh, semua spekulasi sama benarnya.

17. Tidak semua polisi jahat. Dan tidak semua polisi baik. Pun para demonstran. Ada porsi masing-masing.

18. Bagaimana dengan narasi yang sulit masuk diakal seperti: ada seorang yang meninggal ditembus peluru tajam?

19. Ini yang membuat kita putar otak. Pertama, polisi berdalih tidak dibekali peluru tajam. Kedua, keluarga ingin polisi dan Jokowi bertanggung jawab. Ketiga, polisi menemukan pihak yang menyelundupkan senjata di aksi massa. Keempat, keluarga tidak ingin diotopsi. Kelima, kita tidak akan tahu kebenaran dan hanya akan melahirkan dendam.

20. Sebenarnya siapa yang mengendalikan narasi di atas?

21. Perang masih berjalan. Tik-Tok, Mr Wick.

Tidak ada komentar: