Musik, Ambiguitas, dan Ingatan Kolektif

1.
Entah apa yang dipikirkan oleh orang-orang seperti Frank Sinatra, Eric Clapton, John Denver, Lennon, Diana Ross; atau grup musik seperti The Beatles, Oasis, GNR, Air Supply—hingga orang-orang di belahan dunia lain mencintai mereka; mencintai segenap musik mereka.

2.
Ingatan akan bekerja sebagai mana mestinya: lupa menaruh kunci, lupa mematikan perangkat, lupa terhadap agenda harian atau jadwal teman atau jadwal makan yang rutin.

3.
Kata seorang psikoanalis terkemuka bernama Sigmund Freud, pernah mengemukakan: “Neurosis adalah ketidakmampuan untuk mentolerir ambiguitas.”

4.
Manusia memiliki daya tahan berbeda. Memang, tidak semua bisa dipukul rata. Pertama, ada yang pernah menangis hanya karena mendengarkan musik—meski musik itu selembut milik Beethoven atau Mozart. Kedua, musik bisa menjadi penenang dari rasa neurosis. Ketiga, musik bisa juga menjadi penyelam yang baik bagi ingatan-ingatan masa lampau.

5.
Tidak semua orang akan merasa baik setelah mendengarkan musik. Konsensus bisa terjadi, masih banyak orang yang akan merasa buruk jika mengingat satu musik yang memiliki satu paket dengan satu peristiwa tunggal.

6.
Memori kembali bekerja. Bukan tentang kunci-kunci yang hilang, lupa menaruh perangkat. Tapi ingatan bekerja seperti kunci putar pada brankas; jika satu jarum bertemu dengan satu jarum lainnya, maka brankas akan terbuka. Apakah musik dan peristiwa seperti itu? Iya.

7.
“Musik adalah hukum moral.” — Plato

8.
Musik dan peristiwa bisa membuat kita baik, tapi juga membuka kita membuka tentang memorial-memorial lama. Dan ini bukan kabar baik bagi kita; bagi air mata Anda.

Tidak ada komentar: