Lailatul Qadar


Ada barang berharga yang terus menerus berjalan dan tak pernah bisa didaur ulang. Atau orang-orang seperti kita sering menyebutnya: waktu.

Di masjid dan musala dekat kita, para juru khotbah masih memutar kaset yang sama: perihal Lailatur Qadar, satu malam yang konon lebih baik daripada masa malam seribu bulan. Yang perlu digarisbawahi: jauh di sana, orang-orang yang bukan seberuntung kita, mesti menjadi penggerak layaknya roda gigi untuk memutar turbin-turbin dan mesin perkakas.

Para sopir truk mesti bekerja hanya untuk memastikan pasokan bahan bakar kendaraan kita aman, petugas palang kereta rela tak pulang untuk memastikan kita semua selamat, petugas medis bekerja tanpa libur untuk sebuah dedikasi kemanusiaan, pedagang asongan mesti mencari lapak di tempat ramai demi memastikan anaknya bisa memakai baju baru seperti kebanyakan anak-anak lainnya.

Apakah mereka mendapat Lailatul Qadar layaknya orang-orang di belahan bumi lainnya? Wallahu a'lam.

Bisakah kita berhenti kelahi dan menghakimi orang lain akan hal-hal yang tak perlu? Bisakah kita benar-benar berpuasa dan berhenti memberi makan ego kita sendiri?

Dan bisakah kita menjadi manusia untuk umat manusia lainnya, meski sebentar saja?

Tidak ada komentar: