Didi Kempot Adalah Kita, Kita Adalah Didi Kempot!



Saya sepakat bahwa nyanyian dari seorang Didi Kempot, telah melebihi kesedihan puisi-puisi Pablo Neruda, atau melebihi kesedihan novel-novel milik Murakami. Atau juga posisi beliau sebagai musisi, saya juga sepakat, ia layak disandingkan dengan Frank Sinatra atau John Denver atau siapapun dalam barisan musisi-musisi terbaik di dunia.

Ia, Mas Didi, tidak kalah epik dan visioner ketika lebih tahu bicara perihal hati-hati yang diblenjani janji; sebab ia adalah pengalaman pahit itu sendiri. Atau dalam ejaan Oldspeak, orang-orang peradaban lama menyebutnya: Legendaris.

Ingatan saya tidak akan pernah luput bahwa Gesang, Waldjinah, dan Didi Kempot adalah orang-orang legendaris itu sendiri. Jika kita beri microphone, mereka adalah ahlinya. Mereka ahli bicara perihal ingatan dan kenangan.

Dan mereka layak diingat dan dikenang kembali oleh kita lagi. Dan lagi. Dan seterusnya—

Dari lagu-lagu para maestro inilah membuat tempat yang kita tinggali ini menjadi lebih baik, dengan cara memutarnya dalam piringan hitam—atau jika ingin lebih ringkas, memutarnya dengan jaringan nirkabel—barulah kita bisa menyelami tentang ingatan-ingatan lama; ingatan usang; ingatan yang mengembalikan kita dalam dunia yang (dulunya) baik-baik saja.

Ketika dunia dipenuhi orang-orang inkonsisten, Didi Kempot adalah lambang ketangguhan. Ia tidak berhenti. Ia tidak bubar. Ia tidak merubah aroma khas dari musik dia sendiri. Ia masih seperti dulu. Ia mampu cara bertahan. Ia adalah panutan.

Didi Kempot adalah kita—atau diri kita yang lain. Suara-suara patah hati yang terwakili.

Tidak ada komentar: